Penegakan Hukum Pidana Penghinaan Terhadap Pemerintah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pencabutan Pasal 154 Dan 155 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana

Hery, Marjuki (2012) Penegakan Hukum Pidana Penghinaan Terhadap Pemerintah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pencabutan Pasal 154 Dan 155 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana. Other thesis, Universitas Wijaya Putra.

[img] Text (Penegakan Hukum Pidana Penghinaan Terhadap Pemerintah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pencabutan Pasal 154 Dan 155 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana)
0310000000641 - 832 H.pdf
Restricted to Registered users only

Download (526kB)

Abstract

1. Telah terjadi suatu kekosongan hukum pidana, khususnya mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap warganegara yang melakukan kegiatan penyebaran pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan terhada pemerintah. Kekosongan hukum disebabkan karena Makamah Konstitusi tidak memberikan suatu alternatif hukum atau jalan keluar setelah mencabut ke dua pasal tersebut. Disisi lain, perangkat hukum yang sudah ada pun tidak mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan terhadap warga negara yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah. Misalnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 pada Pasal 16 hanya menyebutkan pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak adanya sanksi pidana yang pasti tentu saja akan membuat kesulitan para penegak hukum di lapangan. Selain itu, dengan tidak adanya sanksi pidana yang pasti ini, tentu saja oieh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengumpulkan sejumlah massa guna membuat kekacauan di masyarakat. Massa tersebut akan diajak untuk melakukan demonstrasi anarkis Paling-paling mereka hanya akan dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan tindak pidana yang ancaman hukumanya bisaanya sangat ringan karena merupakan pasal yang tidak berdiri sendiri dan bisaanya dijunctokan dengan pasal lain. Hal ini tentu saja membahayakan keberlangsungan penegakan hukum pidana, khususnya pidana penghinaan terhadap pemerintah. 2. Dengan dicabutnya Pasal 154 dan 155 KUHP Oleh Mahkamah Konstitusi, secara tidak langsung akan membuka kran demokrasi yang selama ini terbelenggu oleh rezim yang berkuasa. Memang aneh kalau didalam suatu negara yang undang-undang dasarnya menganut asas kebebasan berpendapat di muka umum, masih ada pasal-pasal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat. Hanya dengan sangkaan mengeluarkan pernyataan perasaan permusuhan dimuka umum kepada pemerintah, maka seseorang bisa dipidana dengan pidana maksimal 6 tahun. Padahal pernyataan perasaan berada di dalam batin seseorang, sehingga yang bisa menafsirkanya hanyalah orang itu sendiri dan aparat penegak hukum. Celakanya aparat penegak hukum yang tentunya kepanjangan tangan dari penguasa sering menafsirkan pasal ini secara subyektif, sehingga menimbulkan banyak sekali korban. Selama ini, kedua pasal inilah yang sangat ditakuti oleh LSM, tokoh oposisi, mahasiswa, kaum buruh dan pejuang HAM. Sudah ratusan orang ditangkap dan diadili hanya gara-gara mengeluarkan kritik kepada pemerintah. Tentu saja, kedua pasal ini tidak bisa lagi dipertahankan didalam era kehidupan saat ini. Masyarakat sekarang tidak perlu takut lagi untuk memberikan kritik kepada pemerintah, asalkan kritik itu sejalan dengan aturan hukum yang ada, tentunya harus diapresiasi secara positif dan diberi perlindungan hukum. Kebebasan berekspresi saat ini benar benar bisa dinikmati oleh seluruh warg negara. Jadi, sudah tepat sekali keputusan MK yang mencabut Pasal 154 dan 155 KUHP ini. Selain itu, pencabutan pasal 154 dan 155 KUHP oleh MK telah menyebabkan terciptanya suatu sistem hukum yang baik dimana pengambilan keputusan untuk menentukan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak sudah melibatkan peran hati nurani hakim sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis, bukan hanya dilihat dari sudut filosofis, yuridis, dan ideologi semata. Dengan demikian hal ini dapat mengurangi perasaan tidak puas masyarakat terhadap lahirnya suatu produk hukum yang baru, karena salah satu fungsi hukum adalah sebagai agent of change. Sasaran agent of change ini adalah mewujudkan keadilan pada masyarakat, terlebih untuk perubahan itu dipelopori oleh para penegak hukum dan atau tokoh masyarakat lainya dengan perencanaan yang matang (sosial enginering atau sosial planing) sehingga sedapat mungkin bisa mengurangi konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. 1. Telah terjadi suatu kekosongan hukum pidana, khususnya mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap warganegara yang melakukan kegiatan penyebaran pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan terhada pemerintah. Kekosongan hukum disebabkan karena Makamah Konstitusi tidak memberikan suatu alternatif hukum atau jalan keluar setelah mencabut ke dua pasal tersebut. Disisi lain, perangkat hukum yang sudah ada pun tidak mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan terhadap warga negara yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah. Misalnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 pada Pasal 16 hanya menyebutkan pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak adanya sanksi pidana yang pasti tentu saja akan membuat kesulitan para penegak hukum di lapangan. Selain itu, dengan tidak adanya sanksi pidana yang pasti ini, tentu saja oieh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengumpulkan sejumlah massa guna membuat kekacauan di masyarakat. Massa tersebut akan diajak untuk melakukan demonstrasi anarkis Paling-paling mereka hanya akan dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan tindak pidana yang ancaman hukumanya bisaanya sangat ringan karena merupakan pasal yang tidak berdiri sendiri dan bisaanya dijunctokan dengan pasal lain. Hal ini tentu saja membahayakan keberlangsungan penegakan hukum pidana, khususnya pidana penghinaan terhadap pemerintah. 2. Dengan dicabutnya Pasal 154 dan 155 KUHP Oleh Mahkamah Konstitusi, secara tidak langsung akan membuka kran demokrasi yang selama ini terbelenggu oleh rezim yang berkuasa. Memang aneh kalau didalam suatu negara yang undang-undang dasarnya menganut asas kebebasan berpendapat di muka umum, masih ada pasal-pasal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat. Hanya dengan sangkaan mengeluarkan pernyataan perasaan permusuhan dimuka umum kepada pemerintah, maka seseorang bisa dipidana dengan pidana maksimal 6 tahun. Padahal pernyataan perasaan berada di dalam batin seseorang, sehingga yang bisa menafsirkanya hanyalah orang itu sendiri dan aparat penegak hukum. Celakanya aparat penegak hukum yang tentunya kepanjangan tangan dari penguasa sering menafsirkan pasal ini secara subyektif, sehingga menimbulkan banyak sekali korban. Selama ini, kedua pasal inilah yang sangat ditakuti oleh LSM, tokoh oposisi, mahasiswa, kaum buruh dan pejuang HAM. Sudah ratusan orang ditangkap dan diadili hanya gara-gara mengeluarkan kritik kepada pemerintah. Tentu saja, kedua pasal ini tidak bisa lagi dipertahankan didalam era kehidupan saat ini. Masyarakat sekarang tidak perlu takut lagi untuk memberikan kritik kepada pemerintah, asalkan kritik itu sejalan dengan aturan hukum yang ada, tentunya harus diapresiasi secara positif dan diberi perlindungan hukum. Kebebasan berekspresi saat ini benar benar bisa dinikmati oleh seluruh warg negara. Jadi, sudah tepat sekali keputusan MK yang mencabut Pasal 154 dan 155 KUHP ini. Selain itu, pencabutan pasal 154 dan 155 KUHP oleh MK telah menyebabkan terciptanya suatu sistem hukum yang baik dimana pengambilan keputusan untuk menentukan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak sudah melibatkan peran hati nurani hakim sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis, bukan hanya dilihat dari sudut filosofis, yuridis, dan ideologi semata. Dengan demikian hal ini dapat mengurangi perasaan tidak puas masyarakat terhadap lahirnya suatu produk hukum yang baru, karena salah satu fungsi hukum adalah sebagai agent of change. Sasaran agent of change ini adalah mewujudkan keadilan pada masyarakat, terlebih untuk perubahan itu dipelopori oleh para penegak hukum dan atau tokoh masyarakat lainya dengan perencanaan yang matang (sosial enginering atau sosial planing) sehingga sedapat mungkin bisa mengurangi konflik horizontal yang terjadi di masyarakat.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pidana Penghinaan, Putusan Mahkamah Konstitusi

Item Type: Thesis (Other)
Uncontrolled Keywords: Penegakan Hukum, Pidana Penghinaan, Putusan Mahkamah Konstitusi
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Rifki Yusuf Meidiansyah, A.Md. Lib.
Date Deposited: 09 Jan 2023 04:56
Last Modified: 09 Jan 2023 04:56
URI: http://eprints.uwp.ac.id/id/eprint/4535

Actions (login required)

View Item View Item